Senin, 30 November 2009

GAJAH MADA ASLI DI PANCADATU


JAWA POS RADAR BALI SENIN 19 Juli 2004 : KUTA - Wajah asli patih Gajah Mada dibeber di GWK Culture Park, Minggu kemarin Adalah Hyang Suryo Wilatikto yang membeber keaslian wajah Mahapatih tersohor tersebut. Pembeberan dimuali dari Patung setinggi 25 centimeter yang tangan kanan dan kirinya memgang senjata Gada. Sebuah kalung kombinasi putih kuning menghiasi lehernya, plus leontin bergambar Betara Siwa warna keemasan "Inilah wajah Wajah Mahapatih Gajah Mada yang asli," jelas Hyang Suryo Wilatikto kemarin. Guna meyakinkan argumentasinya, Ketua Pura majapahit [Puri Jenggala] itu juga memberikan bebrapa fakta versinya ternyata menurutnya, Kalung bergambar Siwa itu diyakini nya peninggalan asli Gajah Mada. 'Keturunan Gajah Mada yang di Bali juga pernah menemui saya," katanya. Uniknya dirinya mengakutidak mau kompalin kepada pelukis wajah Gajah Mada. Kenapa yakin ? dari sinilah dia mengungkap kisah tersebut. Menututnya Pratima Gajah Mada Pancadatu [berbahan tujuh logam] itu diyakini sebagai miniatur wajah Sang Patih sesungguhnya setelah melalui rapat, meditasi , Juga mohon izin di Candi Rondo Kuning, Kertososno, Kemudian ada tuliusan China berbunyi" MA DA "Saat itu disaksikan tokoh Purbakala Trowulan Joko umbaran, Lurah Ropndo Kuning dan Sesepuh Majapahit, jelas si Pewaris Patung ini. Keyakinan ini juga didasarkan adanya Mahkota Patih yang dikenakan Patung. sedang Mahkota yang beredar kini adalah mahkota prajurit bukan Patih, Namun yang unik , selama dia di Bali menemukan ada Mahkota Patih Bali yang mirip milik Gajah Mada, "Saya membeli Mahkota itu di Sukawati," katanya sambil menunjukkan benda yang dimaksud. Bagaimana dia mendapat Patung itu ? Menurutnya Patung atau Pratima itu didapat secara turun temurun. Bermula dari runtuhnya Kerajaan Majapahit di Trowulan [1478] Sementara Majapahit Trilokapura [Daha-Jenggala-Kadhiri] masih eksis hingga 1527 hancur saat diserang Trenggono [Putra Raden Patah, Raja Demak] Kejadian itu juga berakibat sama terhadap Madapura , sebelumnya Patung itu diselamatkan ke Trilokapura oleh Arya Gede, Dia adalah Putra Sri Wilatikta Brahmaraja [Ratu Trilokapura]. [djo]. PAMERAN BUDAYA PEMERSATU BANGSA [1] WARTA BALI Minggu Wage, 2 Februari 2003 : Kondisi bangsa yang carut marut dilanda krisis multi dimensional belakangan ini antara lain disebabkan oleh hilangnya kesadaran bangsa ini untuk menghargai para Leluhur, pendahulu bangsa termasuk budaya Adiluhung dijaman kejayaan Kerajaan Majapahit memiliki modal budaya, filosofi dan spirit "Sumpah Palap" yang merupakan cikal bakal lahirnya Sesanti Bhinneka Tunggal Ika [Unity in Diversity] yaitu bersatu dalam keanekaragaman. Demikian antara lain pernyataan DR [HC] Soemadi Kertonegoro {Kanjeng Madi} ketika ditemui WARTA BALI seusai pembukaan Pameran Budaya Permersatu Bangsa di Lake View Batur Kintamani Bangli, Sabtu [1/2]. Salah satu upaya untuk menggali kembali nilai nilai mutiara budaya kejayaan bangsa, Terutama Era kerajaan Majapahit adalah dengan menggelar Pameran Budaya Pemersatu Bangsa, Pameran yang dimulai Sabtu, 1 sampai dengan 28 Pebruari 2003 di Lake View Hotel and Restoran ini dibuka HYANG SURYO WILOTIKTO yang juga Pandito Ratu pada Pura Majapahit dan Ketua IX Keluarga Besar Pendukung Budaya Nusantara Asli / Religi da Adat Nusantara Asli untuk mengurusi kerabat Mojopahit. Senada dengan itu, menurut Hyang Suryo Wilotikto, sudah saatnya bangsa Indonesia, kembali merenungi ke Agungan Budaya Leluhur dengan kembali mengingat dan menghayati serta menyadari nilai-nilai budaya yang pernah membawa kejayaan bangsa pada zaman Kerajaan Majapahit tanpa melihat Agama suku dan Ras. "Sesungguhnya kita ini satu Leluhur, kenapa kita selalu berbeda ketika melihat agama kita beda, justru dengan melihat bahwa budaya kita sama, maka kita akan kembali menyadari arti sebuah persatuan " ungkap Hyang Suryo, Di tengah tengah kerinduannya kepada kedamaian dan kejayaan masa lalu, Hyang Suryo menyitir Sesanti "Ajining Bongso Soko Luhuring Budoyo" yang artinya dihargainya Bangsa karena Keluhuran Budayanya. Sesanti itu ia hubungkan dengan Taurat Hukum kelima yang berbunyi "Hormatilah Orang Tuamu". Menurut Hyang suryo, sebuah bangsa yang selalu kuat memegang prinsip untuk menghormati Leluhurnya adalah bangsa yang besar. Untuk itu, Ia mengambil contoh JEPANG , Jepang dimata Hyang Suryo adalah Negara yang kuat dengan tradisi dan Budayanya kendati pernah hancur berkeping keping akibat di Bom Atom oleh Sekutu. Ia lalu mempertanyakan, kenapa bangsa Indonesia yang pernah mengalami masa kejayaan bahkan sampai tersohor ke seluruh dunia karena kekuasaan Majapahit meluas hingga bebrapa pulau di Philipina justru mengalami keterpurukan yang menyedihkan pada saat ini. Pengempon Pura Majapahit Pusat di Trowulan, Mojokerto Jawa Timur yang hingga kini hidup melajang ini melihat salah satu penyebabnya adalah karena bangsa Indonesia 'Melupakan' budaya Leluhurnya, "Bangsa Indonesia tidak lagi ingat apalagi menyembah Leluhurnya" terang Hyang Suryo. Untuk itu ia mengingatkan semua elemen bangsa untuk kembali sadar bahwa memuja Leluhur merupakan suatu keharusan jika bangsa ini tidak ingin lebih terpuruk kejurang yang lebih dalam lagi. Kanjeng Madi mengingatkan para elit bangsa untuk perlunya menggelar gerakan rekonsiliasi untuk mengembalikan kepercayaan rakyat yang 'Hilang'. Salah satu filosofi yang perlu dipegang menurut Kanjeng Madi ada;ah memegang teguh prinsip kepemimpinan Mahapatih Gajah Mada yakni Olah Raga, Olah Pikir dan Olah Rasa. "Nilai Luhur dari filosofi Maha Patih Gajah Mada perlu dipegang kembali" terang Kanjeng Madi. Ia jelaskan, olah raga tiada lain untuk mengembangkan emosional manusia, Olah pikir mengembangkan intelektual dan Olah rasa untuk mengembangkan kesadaran. Hanya saja ketiganya harus mengacu kepada nilai kecerdasan. Termasuk didalamnya sifat mensyukuri nikmat Tuhan yang telah dikaruniakan kita. @ tha. inilah Kliping berita dari Hyang Suryo Raja Abhiseka Majapahit Masa kini Sri Wilatikta Brahmaraja XI yang diundang ke Bali karena Pura / Puro / Griyo / Dalem Beliau di Trowulan di tutup dilarang Ritual dan Kegiatan dalam bentuk apapun oelh MUSPIKA Trowulan sejak 11 November 2001 [Komang Edi]

MENGUAK GAJAHMADA [3]


POS KOTA RABU, 4 NOVEMBER 2009 JAKARTA : Petilasan Gajah Mada di Lambang Kuning, Kertosono, Ternyata juga menmbangkitkan semangat Orang-Orang Bali untuk mengunjunginya. Ini bisa dimaklumi, sebab sebagian masyarakat Bali memang mempunyai Darah Keturunan dari Majapahit. Bukan itu saja, Tokoh Gajah Mada, menurut Cerita mereka, dianggap sebagai Putra Bali, Oleh karena itu Gajah Mada sangat di Agungkan, Hal ini diantaranya bisa dibaca dalam KEKAWIN GAJAH MADA karya I Ngurah Cokorda yang ditulis pada 1952-1958, Satu Kekawin termasuk baru, ditulis di Ubud Bali, disana disebutkan bahwa Gajah Mada adalah Tokoh yang karena Digdaya Anindyeng Sarat {Tokoh Termasyur Jaya tak Tercela di Seluruh Dunia} Tentang Gajah Mada juga bisa dibaca dalam kitab kitab lebih tua di Bali, misalnya karya karya Sastra jenis Babad, Adapun para tokoh agama dari Bali yang sudah mengunjungi dan meneliti situs Lambang Kuning itu adalah HYANG SURYA WILATIKTA [Ketua Puri Surya Majapahit], Drs I Gusti Putu Teken [Musium Buleleng], I Ketut Suharsana, I Gusti N Ari Darmawan, I Gusti Putu Arsila, Keempatnya merupakan keturunan Raja Bali. Hyang Surya Wilatikta yang oleh warga sekitar dipanggil Eyang Suryo, merupakan salah satu tokoh yang sangat antusias terhadap penemuan dan selanjutnya pemugaran Situs Gajah Mada di Lambang Kuning itu, Dia sering berkunjung untuk berziarah, Menurut warga sekitar Punden Lambang Kuning, Eyang Suryo kalau datang berziarah duduk bersila diluar pagar Punden. Dia tidak masuk, karena sangat mengagungkan tokoh Gajah Mada, hingga kalau berziarah cukup diluar pagar, tetapi tetap segala ritualnya yang khusuk. Dia lalu menceritakan tentang hubungan situs Lambang Kuning, Gajah Mada, dan Istri Selirnya yang dimakamkan di situs itu, yakni Putri China Roro Kuning. DISEBUT RAJA BALI "Akan halnya ditempat ini, disebut sebut sebagai Petilasan Gajah Mada , Karena Gajah Mada pernah tinggal disitu. Istrinya bernama Ratu Niang atau kemudian disebut Putri China, lalu juga disebut Randa Kuning, maka disini disebut Lambang Kuning" Ungkapnya. Setelah Gajah Mada pergi ke Bali, lalu kawin dengan Ni Luh Sukarini Putri Raja Bali Age. Begitu besarnya pengaruh Gajah Mada , maka setelah menikah dengan anak Raja Bali, Maka Sang Maha Patih sampai sampai disebut sebagai Raja Bali atau Baliage. Sementara itu, lanjut Eyang Suryo, Ratu Niang atau Roro Kuning setelah ditinggal beberapa lama, kemudian menyusul ke Bali, disana dia menemui kenyataan bahwa Gajah Mada sudah menikah lagi, yakni dengan Ni Luh Sukarini itu. Mengetahui hal tersebut, Ratu Niang mengadu kepada kakak Gajah Mada yang bernama Mayong. Maka Ma Yong menanyakan kepada Gajah Mada "Apakah ini istrimu ?" Gajah Mada tidak mengelak, Dia menjawab benar itu istrinya. Mayong marah seketika itu juga Gajah Mada ditempeleng, Raja Bali kalah oleh kakaknya sendiri. Menurut Eyang suryo Mayong memang seorang Tokoh yang sangat dihormati. "Makanya orang Bali sekarang, kepada keturunan Mayong itu tidak ada seorang Pendeta pun berani menetesi Tirta kepalanya", Setelah kejadian itu Gajah Mada mengantarkan Roro Kuning ke Jawa, dan pada akhirnya tetap memilih menyepi di Lambang Kuning. Meskipun ditinggal Suaminya untuk tugas Negara, Roro Kuning rupanya tetap setia tinggal ditempat itu, Sampai Hayatnya pun kemudian dimakamkan di Lambang Kuning yang selalu dikawal Prajurit Prajurit pilihan Gajah Mada. Akan halnya sekarang ujar Eyang Suryo, Banyak sekali Petilasan di Jawa rusak , Bukan hanya di Jawa , di Bali pun banyak petilasan yang lain pun hancur. Banyak jejak sejarah menjadi hilang. Seperti Petilasan Lambang Kuning ini, sebelumnya sudah hancur, tinggal onggokan sekumpulan batu bata, sedangkan disini banyak sekali sejarah yang hilang, hancur, seperti petilasan ini tinggal seonggokan batu bata. YAYASAN KERTAGAMA "Untung ada Yayasan Kertagama yang dipimpin Pak Harmoko peduli dan berkenan membangun dan merawatnya, semoga restu para Leluhur Majapahit juga merestui penduduk disini, semoga kepada Pak Harmoko yang sudah nguri nguri Leluhur nya dapat juga sesuatu anugrah dari para Leluhur" ujar Eyang Suryo. Menurut keyakinan masyarakat Bali dan semua agama, salah satu hal dalam hukum lima, kita wajib menghormati orang tua kita supaya mendapat surga dan umur panjang." Tentang Tokoh Gajah Mada, Eyang Suryo berpendapat Gajah Mada merupakan tokoh Agung dengan nama besar. Dialah orang pertama sebagai Pemersatu Nusantara. "Beliau di Dunia dikenal sebagai pencipta model Negara Nasional pertama , Dia berkedudukan sebagai Patih atau Perdana Mentri," ungkapnya. Dari Zaman Majapahit dibawah Raja Hayam wuruk dan pemerintahannya dijalankan Maha Patih Gajah Mada, telah tumbuh subur kehidupan beragama dan kebudayaan, serta pemikiran pemikiran mendalam. Yang terkenal adalah Karya sastra Kekawin Nagarakertagama karya Mpu Prapanca dan kekawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Dari Sutasoma, selanjutnya telah diambil salah satu ajaran terpenting, yakni tentang Bhinneka Tunggal Ika Tanhana Darma Mangruwa [berbeda-beda tetapi tetap satu jua, tiada Darma yang mendua] Eyang Suryo pun mengutipkan bunyi kekawin pada bagian itu, terjemahannya secara bebas antara lain : Adalah nama besar di jagad raya, yaitu Empu Tantular, Beliau berhasil menciptakan suatu sistem Bhinneka tunggal ika tanhana darma mangruwa [berbeda beda tapi tetap satu jua, tiada darma yang mendua]. Sebanyak banyak nya emas permata, sedalam dalamnya lautan , setinggi tingginya gunung dan langit Bhinneka Tunggal Ika Tanhana Darma Mangruwa lebih hebat , Barang siapa yang memakainya akan mengerti Rahasia Jagad , bilamana Raja dan Kawula dan Rakyatnya memakai Bhinneka Tunggal Ika Tanhana Darma Mangruwa Negara atau kesatuan bangsa ini akan mengalami Gemah Ripah Loh jinawi, Adil Makmur Aman Sentosa. Oleh karena itu, Eyang Surya mewanti wanti kepada generasi muda untuk tidak melupakan jasa jasa Gajah Mada, Lebih dari itu, Kiranya perlu mempelajari bagaimana Ajaran dan Budi budi baik Maha Patih Majapahit itu [bersambung/Winoto/dsr/r]

KACAMATA PLUS


PEMBELAJARAN, BELAJAR DAN BELAJAR.......itu kata - kata yang bisa penulis ungkapkan saat ini, bercerita tentang keadaan yang sebenarnya dan disimpulkan dalam kenyataan dan fakta - fakta yang ada yang dituangkan dalam ilmu KASUNYATAN. Hari itu dipagi hari, dalam kegelisahan yang timbul dan diyakini semua orang merasakan terutama yang berhubungan dengan EKONOMI, BUDAYA, SOSIAL dan lain sebagainya yang menyangkut tentang keadaan saat sekarang ini di NEGRI TERCINTA INI. Pertanyaannya Kok susah ya menata hidup sekarang ini ya? terjawab juga meskipun samar samar tapi mendingan ada acuan bahwa "HARI ESOK AKAN LEBIH BAIK DARI HARI INI". kata itu yang perlu dan sangat penting untuk jawaban dari pertanyaan tersebut di atas, duduk dikursi ongkang ongkang kaki kelihatan nya santai tapi hati gelisah, datanglah seorang sahabat Gusti Ngursh Wirya (Jik Wirya) dan berkata "CINTA TANAH AIR, HORMATI ORANG TUAMU, JANGAN TINGGALKAN LELUHUR, DLL ada yang mengganjal dalam kata kata sahabat tersebut yaitu "MAJAPAHIT". ada apa dengan MAJAPAHIT yang umumnya hanya cerita sejarah di sekolah dari SD sampai lanjut usia ya tahunya hanya cerita sejarah. Ternyata kegelisahan tadi mulai sirna dan terlupakan. "Terima kasih Sobat" keesokan harinya di malam hari berangkatlah kita ke tempat yang dikenal dengan pelinggih atau tempat bersetananya BETARA WISNU yaitu di GWK, suasana begitu lain dan keheningan yang mencekam, tampak seorang Biksu yang tinggal sendirian dalam lokasi yang begitu kontroversial, dimana letak daripada Pura tesebut berada di sudut lokasi yang tidak terbangun selayaknya Pura pada umumnya. Candi yang tampak samar samar yang terlihat dalam gelapnya malam dengan penerangan yang sangat minim.
TERANIAYA...... kata itu yang timbul jika melihat keadaan yang tidak sepadan berceritalah Biksu tersebut "dulu Pretima atau Patung atau Kimsin berada di salah satu Ruko yang letaknya didepan, dulu diundang dan di beri tempat di sana untuk kesejahteraan dan keseimbangan berjalanya GWK dan masyarakat umumnya tapi setelah di ganti dengan investor baru, yang mana orang tersebut beragama Kristen yang tidak percaya akan adanya leluhur, maka dalam jangka waktu tiga hari untuk segera pindahkan.
Semakin penasaran melihat dan mengamati keadaan tersebut, ternyata dalam waktu tiga hari mendapat tempat di PURI GADING. Tapi umat atau masyarakat disana yaitu di Ungasan berpendapat lain dan diberilah tempat di belakang dan yang disetanakan adalah Betara Wisnu. ada pertanyaan yang timbul siapa yang membawa Pretima Pretima tersebut " HYANG SURYO jawab Biksu tersebut.
PERTEMUAN DENGAN HYANG SURYO
Keesokan harinya di pagi hari Penulis pergi ke kawasan Puri Gading yang letaknya diluar kawasan GWK, tampak sebuah candi yang terbuat dari batu bata merah yang auranya penuh dengan fenomena mistis, dan dipendopo kecil banyak terpampang kliping dari berbagai koran yang memuat tentang Hyang Suryo, serta adanya pengumuman ditutupnya tempat atau Pura di Trowuan di Mojokerto oleh mentri Agama. Tidak lama kemudian datanglah seorang sosok laki - laki berambut panjang terurai dengan memakai udeng lusuh dan berpakaian lusuh, dengan wajah penuh karisma dan berdiri mengadah melihat candi tersebut dengan pandangan tenang. Bisa dirasakan dekat dengan beliau terasa separti pengayom bagi semua orang, penulis tahu bahwa yang berdiri tersebut adalah HYANG SURYO karena penulis sekilas melihat kliping yang ada photo Beliau. Begitu bicara seperti sambaran petir terasa di teling penulis "ya lihatlah dan bacalah Kliping itu matamu belum buta," ujar beliau sembari memberi kacamata plus kepada penulis. Pertemuan pertama kali yang begitu terkesan dan pertama kalinya penulis bertemu dengan figur yang luarbiasa auranya. Kok tahu ya mata saya PLUS dan lebih terang dipakai. Ternyata mata dan pikiran mulai terbuka setelah membaca Kliping tersebut.

JAWABAN DARI KEADAAN YANG TERJADI DI NUSANTARA
Beliau ternyata keturunan raja yang bergelar SRI BRAHMARAJA WILATIKTA XI diundang ke Bali dan membuat karya nyata untuk membedah ketimpangan yang terjadi seperti pelurusan sejarah yang sudah tidak sesuai dengan kebenarannya, mengembalikan paham Leluhur yang sudah mulai sirna, diajarkan untuk menghormati orang tua, serta mencintai tanah Air dan banyak lagi yang membuka pikiran serta melihat dengan jelas kenapa Nusantara sekarang seperti ini MISKIN dalam kekayaan alam yang melimpah yang dimiliki oleh Nusantara ini. Disinilah memulainya PEMBELAJARAN, BELAJAR DAN BELAJAR..... yaitu di "MAJAPAHIT". Tempat dan keadaan ini memang beda dari tempat yang beraroma Spiritual pada umumnya, sebab mencari dan mendalami spritual tersebut, sendiri yang mana tanpa dikotak - kotak maupun duduk bersila mendengarkan wejangan dari sang guru dan dikasih sesuatu dan disuruh suruh melakukan sesuatu dengan terpaksa. Disini yang penulis rasakan sangat beda Beliau membuat Candi tersebut untuk tempat leluhur, yang turun sebagai tempat menyembah atau sembahyang maupun berkeluh kesah sampai anak cucu dan generasi penerusnya. Jadi tempat ini adalah LANGGENG. "Jadi kalau mau memohon, berkeluh kesah langsung saja kepada leluhurnya tanpa harus dihadang sesama manusia" ujar Beliau. Penulis akan terus memandang dan mempelajari situasi maupun keadaan yang ada yang dikaitkan dengan kegelisahan pada diri sendiri maupun orang banyak inilah perjalanan pertama kalinya dengan MAJAPAHIT" dan penulis merasakan tempat ini seperti tempat sekolah, kuliah dan lain sebagainya yang ajarannya sangat lengkap berdasarkan KASUNYATAN atau KENYATAAN. Mulai terbukalah pengelihatan dan Pikiran berkat KACAMATA PLUS tersebut. Lalu penulis pulang dengan membawa pemberian dari Hyang Suryo berupa KACAMATA PLUS. (edy biokong)